Stres adalah sebuah gejala yang sering menghinggapi seseorang. Selain itu stres juga menjadi penyakit kejiwaan yang umum bagi semua kalangan usia, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Terlebih di era yang kompetitif seperti ini, setiap orang akan lebih mudah terserang stres karena beban psikologis kehidupan yang kian hari semakin berat.
Era kompetitif seperti ini lebih mengedepankan persaingan secara bebas. Persaingan dalam kualitas dan kuantitas kehidupan. Kehidupan lebih menunjuk seorang yang cerdas terdidik daripada seorang yang bodoh lagi tidak terdidik. Tidak mengherankan jika hal ini membawa seseorang cenderung mengedepankan strata dalam lingkup pergaulan, orang yang cenderung mapan lebih memilih bergaul dengan orang yang sama, sementara orang yang susah secara materi akan tersisih dan lebih memilih bergaul dengan sesamanya. Jadilah kualitas dan kuantitas hidup menjadi ukuran kesuksesan seseorang dalam era kompetisi untuk mendominasi gaya hidup dan kehidupan.
Gaya hidup seseorang yang cenderung hedonis dan konsumeris makin membentuk sekat-sekat kehidupan yang mengagungkan kasta. Gaya hidup yang materialistis inilah yang menyebabkan individu semakin terkungkung dalam nafsu-nafsu serakah yang tak berujung. Nafsu untuk memiliki hal-hal yang berbau duniawi dengan ukuran materi. Jika nafsu tersebut tidak terpenuhi maka yang terjadi kemudian, adalah beban psikologis yang menyebabkan kegelisahan, stres ringan bahkan depresi. Orang yang memiliki akses berlebih untuk hidup glamor maupun orang yang tidak memiliki akses sama sekali untuk hidup berkecukupan apalagi mewah, akan selalu terlibat pergumulan dengan stres, kegelisahan dan bahkan depresi.
Biblioterapi
Setiap individu memang akan selalu terlibat dengan masalah-masalah eksternal (lingkungan) maupun internal (psikologis). Sehingga semakin mudah baginya untuk menderita stres, terlebih dalam era yang kompetitif seperti sekarang ini. Bagi
Individu tersebut umumnya akan melakukan konsultasi, seperti mendatangi psikolog atau psikiater, curhat dengan rekan, sampai dengan melakukan hobi-hobi tertentu seperti membaca dan menulis.
Apa yang dilakukan tersebut merupakan naluri alamiah manusia untuk terhindar dari stres. Namun tidak jarang mereka selalu membiarkan stress yang menyerang dengan pelarian sesaat, seperti drugs (narkotika), sampai kepada vandalisme (kejahatan). Dengan demikian maka diperlukan sebuah terapi kejiwaan yang murah dan mudah diakses oleh semua orang. Terapi ini salah satunya adalah dengan biblioterapi (terapi kejiwaan dengan buku).
Dr. Paul A. Hauck telah memperkenalkan beberapa buku yang terbaik tentang Terapi Perilaku Kognitif, dimana Terapi Emotif Rasional (TER) merupakan model yang terbaik (http://www.sivalintar.com/ ). Dari buku kita bisa mempelajari tentang diri kita, mempelajari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Dari buku juga kita bisa mempelajari tantang hidup dan kehidupan, termasuk tetek-bengek keruwetan hidup beserta solusinya.
Bacaan yang mengobati
Di Inggris, para ahli medis dan pustakawan telah menjalin kerjasama dalam suatu tim guna merancang suatu program terapi baru, yaitu menawarkan bacaan (khususnya novel) bagi pasien dengan beragam keluhan. Terapi alternatif yang dikembangkan para dokter keluarga di Kirklees, West Yorkshire, ini akan mempertemukan penderita depresi dengan ‘biblioterapis’ dari perpustakaan setempat. Biblioterapis ini selanjutnya akan memeriksa koleksi buku di perpustakaan guna menemukan buku yang sekiranya sesuai untuk pasien tertentu. Diharapkan, dengan buku yang sesuai, pasien akan mendapatkan inspirasi dan menjadi lebih bersemangat (http://abhicom2002.blogspot.com/). Dengan cara ini pula pasien diharapkan bisa menemukan pemecahan masalah yang menyebabkannya stress lewat bacaan yang menginspirasi, mungkin bisa disebut dengan penyembuhan dengan kemampuan diri sendiri (self help).
Biblioterapi atau cara penyembuhan dengan memberikan bacaan yang tepat pada pasien, telah menjadi alternatif pengobatan baru dalam dunia kesehatan. Terapi yang pertama kali dikenalkan oleh para ahli kesehatan Inggris ini, terutama digunakan untuk menyembuhkan penderita stres, depresi, dan kegelisahan. Terapi dilakukan dengan cara mengajak pasien berbincang untuk mengetahui bacaan apa yang disukainya, mencari penyebab penyakit atau stres, lalu menawarkan buku yang tepat untuknya (http://azayaka2004.blogspot.com/).
Meski demikian program ini tidak ditujukan bagi penderita gangguan mental yang hebat. Menurut Catherine Morris, seorang biblioterapis yang juga pustakawan, biblioterapi ditujukan bagi penderita depresi dan kegelisahan ringan. Ia menganjurkan biblioterapi berdasarkan pengalamannya selama mengelola perpustakaan. Di sana, ia banyak mendengar komentar dari pengunjung yang memperoleh keceriaan kembali setelah membaca kisah tertentu. Mereka merasa lebih bersemangat setelah mengetahui bahwa masalah yang dihadapi ternyata jauh lebih ringan dibanding kisah yang dibacanya (http://ahperpus.multiply.com/)
Di Indonesia biblioterapi belum dikenal secara luas oleh semua kalangan. Akan tetapi sebenarnya biblioterapi telah dilakukan oleh kalangan tertentu yang memiliki hobi membaca tinggi. Mereka biasanya mendatangi konselor yang kemudian menunjukkan buku-buku tertentu untuk dijadikan sebagai terapi jiwa pada saat mengalami stress ringan. Di Indonesia keberadaan pustakawan dan perpustakaan bisa menjadi potensi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan terapi kejiwaan dengan buku.(**)
Era kompetitif seperti ini lebih mengedepankan persaingan secara bebas. Persaingan dalam kualitas dan kuantitas kehidupan. Kehidupan lebih menunjuk seorang yang cerdas terdidik daripada seorang yang bodoh lagi tidak terdidik. Tidak mengherankan jika hal ini membawa seseorang cenderung mengedepankan strata dalam lingkup pergaulan, orang yang cenderung mapan lebih memilih bergaul dengan orang yang sama, sementara orang yang susah secara materi akan tersisih dan lebih memilih bergaul dengan sesamanya. Jadilah kualitas dan kuantitas hidup menjadi ukuran kesuksesan seseorang dalam era kompetisi untuk mendominasi gaya hidup dan kehidupan.
Gaya hidup seseorang yang cenderung hedonis dan konsumeris makin membentuk sekat-sekat kehidupan yang mengagungkan kasta. Gaya hidup yang materialistis inilah yang menyebabkan individu semakin terkungkung dalam nafsu-nafsu serakah yang tak berujung. Nafsu untuk memiliki hal-hal yang berbau duniawi dengan ukuran materi. Jika nafsu tersebut tidak terpenuhi maka yang terjadi kemudian, adalah beban psikologis yang menyebabkan kegelisahan, stres ringan bahkan depresi. Orang yang memiliki akses berlebih untuk hidup glamor maupun orang yang tidak memiliki akses sama sekali untuk hidup berkecukupan apalagi mewah, akan selalu terlibat pergumulan dengan stres, kegelisahan dan bahkan depresi.
Biblioterapi
Setiap individu memang akan selalu terlibat dengan masalah-masalah eksternal (lingkungan) maupun internal (psikologis). Sehingga semakin mudah baginya untuk menderita stres, terlebih dalam era yang kompetitif seperti sekarang ini. Bagi
Individu tersebut umumnya akan melakukan konsultasi, seperti mendatangi psikolog atau psikiater, curhat dengan rekan, sampai dengan melakukan hobi-hobi tertentu seperti membaca dan menulis.
Apa yang dilakukan tersebut merupakan naluri alamiah manusia untuk terhindar dari stres. Namun tidak jarang mereka selalu membiarkan stress yang menyerang dengan pelarian sesaat, seperti drugs (narkotika), sampai kepada vandalisme (kejahatan). Dengan demikian maka diperlukan sebuah terapi kejiwaan yang murah dan mudah diakses oleh semua orang. Terapi ini salah satunya adalah dengan biblioterapi (terapi kejiwaan dengan buku).
Dr. Paul A. Hauck telah memperkenalkan beberapa buku yang terbaik tentang Terapi Perilaku Kognitif, dimana Terapi Emotif Rasional (TER) merupakan model yang terbaik (http://www.sivalintar.com/ ). Dari buku kita bisa mempelajari tentang diri kita, mempelajari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Dari buku juga kita bisa mempelajari tantang hidup dan kehidupan, termasuk tetek-bengek keruwetan hidup beserta solusinya.
Bacaan yang mengobati
Di Inggris, para ahli medis dan pustakawan telah menjalin kerjasama dalam suatu tim guna merancang suatu program terapi baru, yaitu menawarkan bacaan (khususnya novel) bagi pasien dengan beragam keluhan. Terapi alternatif yang dikembangkan para dokter keluarga di Kirklees, West Yorkshire, ini akan mempertemukan penderita depresi dengan ‘biblioterapis’ dari perpustakaan setempat. Biblioterapis ini selanjutnya akan memeriksa koleksi buku di perpustakaan guna menemukan buku yang sekiranya sesuai untuk pasien tertentu. Diharapkan, dengan buku yang sesuai, pasien akan mendapatkan inspirasi dan menjadi lebih bersemangat (http://abhicom2002.blogspot.com/). Dengan cara ini pula pasien diharapkan bisa menemukan pemecahan masalah yang menyebabkannya stress lewat bacaan yang menginspirasi, mungkin bisa disebut dengan penyembuhan dengan kemampuan diri sendiri (self help).
Biblioterapi atau cara penyembuhan dengan memberikan bacaan yang tepat pada pasien, telah menjadi alternatif pengobatan baru dalam dunia kesehatan. Terapi yang pertama kali dikenalkan oleh para ahli kesehatan Inggris ini, terutama digunakan untuk menyembuhkan penderita stres, depresi, dan kegelisahan. Terapi dilakukan dengan cara mengajak pasien berbincang untuk mengetahui bacaan apa yang disukainya, mencari penyebab penyakit atau stres, lalu menawarkan buku yang tepat untuknya (http://azayaka2004.blogspot.com/).
Meski demikian program ini tidak ditujukan bagi penderita gangguan mental yang hebat. Menurut Catherine Morris, seorang biblioterapis yang juga pustakawan, biblioterapi ditujukan bagi penderita depresi dan kegelisahan ringan. Ia menganjurkan biblioterapi berdasarkan pengalamannya selama mengelola perpustakaan. Di sana, ia banyak mendengar komentar dari pengunjung yang memperoleh keceriaan kembali setelah membaca kisah tertentu. Mereka merasa lebih bersemangat setelah mengetahui bahwa masalah yang dihadapi ternyata jauh lebih ringan dibanding kisah yang dibacanya (http://ahperpus.multiply.com/)
Di Indonesia biblioterapi belum dikenal secara luas oleh semua kalangan. Akan tetapi sebenarnya biblioterapi telah dilakukan oleh kalangan tertentu yang memiliki hobi membaca tinggi. Mereka biasanya mendatangi konselor yang kemudian menunjukkan buku-buku tertentu untuk dijadikan sebagai terapi jiwa pada saat mengalami stress ringan. Di Indonesia keberadaan pustakawan dan perpustakaan bisa menjadi potensi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan terapi kejiwaan dengan buku.(**)
1 comments:
jiwa dan raga tidak bisa dipisahkan, karena menjasi satu kesatuan yang utuh sehingga yang satu sakit pasti yang lain ikut merasakan, begitu juga persahabatan, untuk itu jagalah hati jagalah diri sebelum tersakiti karena kita tidak bisa menilai diri sendiri, bagi kita benar belum tentu untuk orang lain
Post a Comment