Sumber: Kompas, 12 November 2010
Judul: Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban
Peresensi: Ali Rif’an
Penulis: Suherman, M.Si.
Penerbit: MQS Publishing
Peresensi: Ali Rif’an
Penulis: Suherman, M.Si.
Penerbit: MQS Publishing
Sampai hari ini, minat baca orang Indonesia masih terbilang rendah.
Data dari United Nations Development Programme (UNDP), misalnya,
menyebutkan dalam hal minat baca, Indonesia menempati peringkat 96,
sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Bahkan untuk kawasan Asia
Tenggara, hanya ada dua negara di bawah peringkat Indonesia, yakni
Kamboja dan Laos.
Apa sebenarnya penyebab rendahnya minat baca di Indonesia? Suherman
melalui buku ini, secara spesifik, menyebutkan dua faktor. Pertama,
faktor determinisme genetic, yakni warisan orangtua. Seseorang tidak
suka membaca karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang
tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan.
Kedua, determinisme lingkungan. Orang tidak senang membaca karena lingkungan, teman-teman, rekan kerja, guru, atau dosen tidak senang membaca; di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan; serta tidak ada peraturan perusahaan/instansi yang mengharuskan seseorang untuk membaca.
Sosialisasi
Namun demikian, selain dua faktor di atas, Suherman menduga bahwa
rendahnya minat baca di Indonesia juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi
masyarakatnya yang masih lemah, kurangnya perhatian pemerintah, harga
buku masih terlampau mahal, dan minimnya sosialisasi akan pentingnya
membaca. Bahwa membaca adalah pintu gerbang masuknya segala informasi
dan ilmu pengetahuan merupakan hal yang penting untuk diketahui bagi
segenap anak bangsa. Syarat untuk menjadi orang besar atau pahlawan
ialah berfikir besar dan memiliki cita-cita tinggi. Sedangkan syarat
fundamental untuk menggapainya adalah mengumpulkan ilmu
sebanyak-banyaknya, yang instrument utamanya adalah membaca.
Membaca menjadi titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Dalam
Islam, misalnya, membaca justru perintah pertama dan utama sebelum
diperintahkan yang lainnya. Islam pernah menjadi sokoguru peradaban
dunia yang menguasahi lebih dari separuh jagat ini. Jika ditelusuri,
peletak dasar ilmu-ilmu yang ada sekarang adalah lahir dari
tangan-tangan para ulama yang memiliki kegilaan dalam membaca.
Dalam konteks keindonesiaan, tragedi kemiskinan dan kemelut
pendidikan yang sedang terjadi sekarang ini salah satunya akibat dari
tidak adanya kesadaran dan rendahnya minat baca. Kemajuan suatu bangsa
dan peradaban sangat berkelindan dengan kegetolan masyarakatnya
menyelami dunia literasi. Sebab, di negara maju semisal AS dan Jepang,
setiap individu-individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari.
Rata-rata kebiasaan di negara maju memiliki waktu baca delapan jam dalam
sehari, sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua
jam setiap harinya (hlm 128).
Barangkali mereka sadar bahwa membaca merupakan aktivitas vital yang
harus diselami jika ingin sukses di dunia ini. Jika pangan, sandang, dan
papan adalah kebutuhan primer manusia secara fisik (badan), maka buku
dan bahan bacaan lainya adalah kebutuhan primer manusia secara
non-fisik, rohani (otak).
Dengan alasan itulah, buku selayaknya kita jadikan sebagai menu
harian yang hampir sebanding dengan pangan, sandang, dan papan. Kita
harus sadar bahwa buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah
diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet. Buku adalah
mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera
waktu.
Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Pendidikan tanpa
membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena “pengangguran intelektual”
tidak akan terjadi apabila siswa dan mahasiswa memiliki semangat membaca
yang membara. Tradisi literasi telah menjadi nafas kehidupan para ulama
terdahulu dan bagi mereka yang telah sukses meraih mimpinya. Kita bisa
tengok tokoh-tokoh dunia semisal Karl Marx, Imam Khomeini, Mahatma
Ghandhi, Hasan al-Banna, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan seterusnya.
Mereka adalah tokoh dunia yang sukses lantaran memiliki gegirangan
membaca.
Perubahan Paradigma
Karena itu, jalan menuju perubahan budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah paradigma. Dengan kata lain, membaca selayaknya dijadikan kebutuhan jika ingin bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Sebab, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.
Karena itu, jalan menuju perubahan budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah paradigma. Dengan kata lain, membaca selayaknya dijadikan kebutuhan jika ingin bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Sebab, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.
Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institute,
Universitas Stanford (hlm 133), pernah mengatakan bahwa ciri-ciri
manusia modern dan maju itu dapat dilihat dari dua sudut, yakni
eksternal dan internal. Sudut eksternal berkaitan dengan lingkungan, dan
mudah dikenali. Seperti urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi,
kehidupan politik dan pendidikan, dan seterusnya. Sementara sudut
internal justru tidak tampak. Seperti pola pikir, perasaan kita, visi
kita, dan seterusnya. Kedua sudut ini pun harus menjadi setali dua mata
uang yang saling berkelindan, berkaitan.
Namun yang jamak kita saksikan, sekalipun lingkungannya sudah modern, tidak dengan sendirinya kita menjadi modern. Padahal, kita baru bisa dikatakan modern kalau dapat merubah perilaku dan pola pikir kita. Ciri-ciri manusia modern adalah jika ia mau membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi dan perubahan. Maka, jendela dunia akan terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan.
Untuk itu, budaya visual yang lebih dominant di negeri harus
digantikan dengan tradisi literasi. Budaya baca harus ditumbuhkan. Untuk
membangkitkan dan membangun minat baca tidak hanya harus dilandaskan
pada lingkungan atau kondisi, tetapi juga dapat didasarkan pada pilihan
yang sadar. Membaca bukanlah kewajiban yang datang dari luar dan harus
dilakukan dengan terpaksa, melainkan sebuah kebutuhan yang timbul dari
dalam diri dan tentu saja akan dilakukan dengan senang hati.
Buku besutan alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas
Padjadjaran sekaligus pendiri dan ketua Masyarakat Literasi Indonesia
ini menarik untuk disimak. Meski hanya 154 halaman, tapi hampir di tiap
lembarnya menghadirkan letupan “gizi” bagi pembaca. Sebagai penutup.
Seorang teman pernah berkelakar ketika selesai membaca buku ini, “Buku
ini ibarat oase di padang gersang. Di tengah-tengah akutnya buta aksara
di Indonesia, buku ini layak sekali untuk dibaca!”
*) Peresensi adalah Pengamat Buku, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat
0 comments:
Post a Comment